Jumat, 18 Desember 2020

KESENIAN KHAS GEOPARK CILETUH KABUPATEN SUKABUMI




 1. Kesenian Buncis 

 Kesenian Buncis merupakan salah satu kesenian yang hidup dalam masyarakat Sunda Pajampangan di beberapag. Kesenian Buncis wilayah ini berbeda dengan Angklung Buncis yang hidup dalam masyarakat Sunda di wilayah lain. Seni Buncis tidak terkait dengan ritus Nyi Pohaci Sanghyang Sri (Dewi Sri), melainkan merupakan seni hiburan yang umumnya tampil dalam berbagai acara hajatan, antara lain acara khitanan.desa dalam kawasan Geopark Ciletuh. Kesenian Buncis di kawinan, festival, perayaan kemerdekaan Indonesia, dan sebagainya. dari beberapa unsur seni, yaitu seni musik, tari, bodoran, danSecara keseluruhan Seni Buncis merupakan gabungan lakon (cerita). Peralatan musik pengiring terdiri dari lima buah angklung berlaras salendro,2 sebuah dogdog kecil. terompet, dan goong. 

Nyanyian pokok dalam pertunjukan Buncis adalah onde-onde tanpa rumpaka (syair lagu) dankendang dan kulanter, jidor (kendang besar), kenong, kecrek dan lagu lainya adalah : Eket-eket, Renggong, Jemen, Kacang Asin, Kukukmelodi lagunya dibawakan oleh tarompet. Palid, dan sebagainya. yang diperankan oleh dua orang lelaki yang didandani seperti wanita. Lama waktu tampil sekitar 8 hingga 12 jam karenaDalam pertunjukannya terdapat dua orang ronggeng  berdasarkan pakem tertentu, hanya berdasarkan skenario "dadakan" yang diatur oleh sutradara (biasanya pimpinan grup). Umumnya berkisah tentang kehidupan sosial-budaya di sekitar tempat di mana pertunjukan itu tengah berlangsung.membawakan sebuah lakon. Lakon yang dibawakan tidak Kadang-kadang lakon dipesan oleh yang punya kenduri.

2. Janéng atau Jamjanéng

 Bagi masyarakat Sunda keturunan Kebumen (Jawa Tengah) yang hidup dan besar di Desa Sidamulya, Kecamatan Ciemas, kawasan Geopark Ciletuh, Janéng adalah sebuah kesenian leluhur yang telah terjadi kesenian tanah kelahiran, 123 Janéng termasuk seni shalawatan, yaitu seni bernyanyi dalam syair bahasa Arab diiringi oleh alat musik terebang. Sebagai seni shalawatan syair yang dinyanyikan berisi keagungan Allah SWT dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW 124

Peralatan musik yang mengiringi Janéng terdiri atas tiga buah terebang, dan sebuah calung. Jumlah pemain berkisar antara 10 sampai dengan 12 orang. Pada masa lalu, Janéng di Desa Sidamulya seringkali dipentaskan dalam berbagai acara syukuran atau hajatan: khitanan, kawinan, hari-hari besar keagaamaan dan kenegaraan seperti muludan suroan (Tahun Baru Islam), dan hari kemerdekaan R.I.(hari kelahiran Nabi Muhammad SAW), rajaban (Isra Mi'raj),

3. Kuda Lumping

 Kesenian Kuda Lumping masih akrab di dalam kawasan Geopark Ciletuh . Di kalangan di desa Jaringao dan desa lainnya di Kecamatan Ciracap disebut Cepet .Berbeda di Desa Sidamulya, Kecamatan Ciemas, disebut Ja'e

Pertunjukan Jae biasa dilangsungkan baik siang atau malam hari. Penyajiannya senantiasa menampilkan tari-tarian dengan properti kuda-kudaan terbuat dari anyaman bambu yang dicat warna warni.

Sambil diringi oleh musik gamelan, para penarinya menari berlenggang-lenggok ke kiri-kanan atau mundur-maju seperti tengah menunggang kuda. Pada bagian tertentu, parapenari itu kasurupan atau mabok, untuk memperlihatkan perilaku aneh, antara lain makan beling. rumput, dan padi, bahkan adia juga yang memakan ayam lidup-hidup. Kesenian Kuda Lumping merupakan kesenian yang dibawa orang Jawa (Tengah dan Timur) ketika mereka puluhan tahun didatangkan untuk menetap di Kecamatan Ciemas dan Kecamatan Ciracap.

 Pertemuan dua budaya, antara Jawa dan Sunda telah menghadirkan kesenian Kuda Lumping dengan keunikan tersendiri. Dalam pertunjukan Jae atau Cepet itu kadangkadang terasa kejawen, tetapi juga terkadang terasa nyunda.

Salah satunya terpancar pada posisi dan penabuhan kendang pengiringnya. Dalam gamelan Jawa, kendang yang ditabuh biasanya diletakkan secara horizontal, namun dalam pertunjukan Jae/Cepet, kendang diletakkan secara diagonal seperti menabuh kendang Sunda.

4. Pencak Silat

 Di Kawasan Pajampangan, Geopark Ciletuh tersebar grup Pencak Silat (Maenpo), di berbagai desa antara lain di Desa Mandrajaya, Tamanjaya, Pasirangin, Cibenda, Purwasedar, atau Pangumbahan, misalnya. Grup Macan Tutul Putra, dan Garuda Mas.

Pencak Silat sebagai kesenian, sebagaimana wilayah Tatar Sunda lainnya, adalah seni bela diri yang biasa disebut Penca Kembang atau Ibing Penca, yaitu Pencak Silat berbentuk tari dan lebih difungsikan untuk kepentingan hiburan. Oleh sebab itu, di dalam penampilannya, Penca Kembang senantiasa diiringi oleh beberapa instrumen musik, yaitu dua set kendang (kendang indung dan kendang anak masing-masing dengan dua buah kulanter), terompet dan goong.

Secara regenerasi, perkembangan Pencak Silat cukup terjaga, terutama karena peminatan Pencak Silat sebagai kemampuan bela diri; serta perhatian berbagai institusi seperti sekolah (SD atau SMP) dan kearifan masyarakat untuk terus mempagelarkan Penca Kembang dalam berbagai acara, seperti acara khitanan, kawinan, pesta nelayan, serta perayaanperayaan kenegaraan.

5. Wayang Kulit

 Kesenian Wayang Kulit untuk kawasan Pajampangan khususnya di Ciletuh, termasuk kesenian langka. Salah satu desa yang masih menyimpan dan mempagelarkan (dengan frekuensi sangat jarang) hanya di Desa Sidamulya. Menurut penuturan Didin Purwanto,132 wayang kulit hanya dipagelarkan setahun sekali, yakni pada setiap tahun baru

Islam, tanggal satu Muharam; dan dalangnya juga harus didatangkan dari Jawa, salah satu di antaranya dari Kabupaten Kebumen. Sebagai pecinta kesenian Wayang Kulit di rumahnya, tersimpan sekotak wayang kulit yang dibuat sekitar tahun 1916. Sebagian masih utuh, sebagian lagi sudah rapuh dan rusak.

6. Seni Cepet Pajampangan

Seni Cepet merupakan salah satu ragam seni yang hidup di sekitar Jampang sehingga dikenal juga dengan dari tokoh kegelapan yang diekspresikan dalam bentuk Topeng Cepet. Topeng ini berwujud wajah raksasa menyeramkan dengan rambut lebat panjang dan kaku. Para penari Topeng Cepet sering kerasukan makhluk halus yang disebut dengan istilah mabok. Akan tetapi, para penari tersebut dapat menari dengan indah dalam suatu geraksebutan kesenian Pajampangan. Tarian ini merupakan wujudharmonis dengan iringan gending karena maboknya mereka berada dalam kendali para pawang. Biasanya, dalam perltunjukkan Seni Cepet selalu dibumbui oleh pertunjukkan Kuda Lumping, Tari Cakil, Tari Hanoman, dan Tari Barong.

 Sumber : 

Pemerintah Kabupaten Sukabumi

Sukabumi dari Masa ke Masa

Prof. Dr. Nina Herlina , M.S , dkk

Kamis, 19 November 2020

TIGA KOMPONEN DASAR YANG HARUS DIMILIKI PEKERJA SOSIAL .



Dalam mengembangkan berbagai layanan sosial (social service) pada masyarakat para sarjana kesejahteraan sosial dan pekerja sosial mempunyai berbagai nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip dalam melakukan praktik perubahan sosial terencana (intervensi sosial). Dalam kaitan dengan nilai dan prinsip-prinsip dasar ini, Zastrow (2010) melihat ada tiga komponen dasar yang harus dipertimbangkan dan dielaborasi dalam mengembangkan profesi praktisi di bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial. Ketiga komponen dasar tersebut adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai.

1. Pengetahuan (knowledge).

Menurut pendapat Kahn (1969) pengetahuan adalah pemahaman teoretis ataupun praktis yang terkait dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan (science), belajar, dan seni yang melibatkan penelitian maupun praktik serta pengembangan keterampilan. Sedangkan Allen Pincus an Anne Minahan dalamm Zastrow (2010: 97) melihat pengetahuan sebagai pemahaman yang dihasilkan dari suatu proses observasi secara ilmiah, sehingga hasilnya telah diverifikasi terlebih dahulu, serta dapat diverifikasi oleh mereka yang ingin menguii keabsahan dari hasil observasi tersebut. Misalnya saja, berkembang suatu asumsi bahwa "warga kulit hitam mempunyai angka harapan hidup yang lebih rendah bila dibandingkan dengan warga kulit putih" Pernyataan tersebut mungkin masih berupa penalaran umum (common sense) yang didasari pengalaman sehari-hari masyarakat di Amerika.

Untuk melihat apakah suatu asumsi itu benar atau salah. Cara pembuktiannya adalah berdasarkan kajian terhadap dunia empirik, melalui cara pengkajian yang ilmiah. Sehingga pernyataan itu menjadi benar, setelah dibuktikan dari berbagai data yang ada, bahwa memang benar rerata angka harapan hidup (life expectancy) dari warga kulit hitam ternyata masih berada di bawah angka harapan hidup warga kulit putih. Tetapi asumsi tersebut bisa menjadi salah, kalau ternyata dari data yang ada, terlihat bahwa rerata angka harapan hidup warga kulit hitam ternyata lebih tinggi dari warga kulit putih.

Hal yang serupa juga dapat kita lihat pada kasus Indonesia-di mana bila dilihat dari angka harapan hidup di satu atau dua kota- maka terlihat bahwa angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dari angka harapan hidup laki-laki. Kemudian diasumsikan bahwa di Indonesia angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dari angka harapan hidup laki-laki.

Maka hal ini menjadi benar, ketika kita membandingkan data seluruh provinsi yang ada di Indonesia, ternyata rerata angka harapan hidup pada perempuan memang lebih tinggi dari laki-laki. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa suatu pengetahuan (knowledge) dikembangkan berdasarkan suatu kajian terhadap dunia empirik, sehingga dapat diterapkan untuk memperbaiki kondisi yang ada pada dunia empirik.

Pengetahuan itu bukan suatu penalaran umum (common sense) yang tidak berdasar, tetapi pengerahuan itu berkembang berdasarkan kajian terhadap dunia yang kita geluti selama ini yang disistematisir agar dapat lebih mudah dicerna keterkaitan ataupun hubungan antara suatu konsep dengan konsep yang lain.

2. Keterampilan (Skill)

Keterampilan merupakan hal yang sangat penting dalam suatu profesi pemberian bantuan (helping profession), serta menjadi prasyarat bila profesi tersebut ingin berkembang. Secara definitif, keterampilan didefinisikan sebagai kemampuan keahlian ataupun kemahiran yang diperoleh dari praktik dan pengetahuan. Di sini, keterampilan tidak muncul sekedar dari suatu proses uji coba belaka, tetapi keterampilan muncul karena adanya keterkaitan dengan pengetahuan yang dipelajari oleh seorang agen perubahan. Semakin malas seorang agen perubahan mempelajari berbagai pengetahuan terkait dengan praktik sehari-hari yang ia hadapi, maka semakin miskin variasi alternatif penanganan masalah yang bisa ia berikan. Sehingga dapat dikatakan, keterampilan itu muncui sebagai aspek terapan dari pengetahuan yang ia miliki. Hal ini secara sederhana dapat dianalogikan dengan profesi kedokteran.

Semakin sedikit seorang dokter menyerap pengetahuan yang ada (baik secara formal maupun informal), maka semakin sedikit kemampuannya dalam mendeteksi penyakit pasiennya. Serta semakin sedikit pula variasi pengobatan yang dapat ia berikan. Karena itu, bagi mereka yang bergerak d bidang pemberian bantuan, upaya memperbarui (up-grading) pengetahuan menjadi landasan untuk mengembangkan praktik yang profesional. Akan tetapi praktik yang profesional, tidak saja muncul dari penambahan pengetahuan belaka melainkan diperlukan juga latihan (praktik) yang nyata dalam menangani klien ataupun pasien (dalam kasus dokter di atas). Sehingga keterampilan itu menghubungkan aspek perilaku yang belum muncul di permukaan (covert behaviour), vang dalam hal ini diwakili oleh pengetahuan, dengan aspek perilaku yang sudah dapat diindrai (overt behaviour), yang dalam hal ini terlihat dari keterampilan yang dimiliki oleh agen perubahan. 

Keterampilan itu berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik berdasarkan suatu latihan yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan. Hal seperti ini bukan saja terlihat dalam profesi pemberian bantuan, dalam bidang olahraga pun hal serupa juga berlaku. Seorang pemain bola, tidak akar menjadi pemain bola yang andal tanpa adanya latihan yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan yang berkembang di bidang tersebut. Karena itu latihan bola yang tidak terarah, sering kali tidak membuat seseorang menjadi pemain bola yang profesional dan andal, tetapi klub-klub yang besar di bidang sepak bola pasti mempunyai sarana pelatihan yang memungkinkan semua pesepak bola tersebut berlatih sesuai dengan perkembangan pengetahuan. Hal yang serupa sebenarnya juga berlaku bagi mereka yang bekerja pada bidang Kesejahteraan Sosial. Pengetahuan dan latihan praktik, menjadi prasyarat berkembangnya keterampilan seseorang dalam menangani klien mereka, baik di level individu, keluarga, kelompok, organisasi maupun komunitas.

3. Nilai (Value)

Pincus dan Minahan (1973: 38) menyatakan nilai adalah keyakinan, preferensi ataupun asumsi mengenai apa yang dinginkan atau dianggap baik oleh manusia (values are beliefs, preferences, or assumptions about what is desirable or good for humans). Nilai yang dianut oleh seseorang dapat menentukan sikap dan tindakan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Berbeda dengan pernyataan pengetahuan yang diuji benar salahnya melalui proses kajian terhadap dunia empirik, maka benar dan salah dari suatu nilai muncul berdasarkan suatu kajian. 

Pincus dan Minahan dalam Zastrow (2010) melihat nilai bukan sebagai sesuatu vang kita lihat dari dunia kita berdasarkan apa yang kita ketahui, akan tetapi nilai lebih terkait dengan apa yang seharusnya terjadi. Misalnya, "kevakinan bahwa suatu masvarakat mempunvai tanggung jawab untuk membantu individu mengembangkan potensi diri mereka (setiap individu)". Maka pernyataan tersebut lebih berupa pernyataan tentang nilai (value statement) dan bukan pernyataan tentang pengetahuan (knowledge statement). 

Pernyataan tersebut bukanlah pernyataan tentang apa yang kita ketahui sudah berlaku di masyarakat kita akan terapi pernyataan tersebut adalah sesuatu preferensi tentang sesuatu yang seharusnya terjadi. Sehingga dasar pembuktiannya benar atau salahnya, menurut Pincus dan Minahan, bukan pada hasil kajian ilmiah yang empirik. Akan tetapi benar atau salahnya pernyataan tersebut, didasarkan pada kevakinan yang ada pada masyarakat atau muncul berdasarkan kode etik yang akan digunakan sebagai standar bertindak suatu profesi (value statements cannot be subjected to scientific investigation, they must be accepted on faith. Thus we can speak of a value as being right or wrong only in relation to the particular belief system or ethical code being used as a standard).

(ISBANDI RUKMINTO ADI, KESEJAHTERAAN SOSIAL. PEKERJAAN SOSIAL, PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KAJIAN PEMBANGUNAN. EDISI KEDUA) 

Kamis, 12 November 2020

FUNGSI KELUARGA ( Melly dalam Busono, 2005 )



Analisis menurut Melly dalam Busono 2005 tentang sosialisasi dan pola asuh orang tua merupakan bagian fungsi keluarga secara utuh dapat dijelaskan secara sosiologis. 

Setelah keluarga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Fungsi keluarga merupakan suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga. Masalah krisis keluarga dapat diduga muncul sebagai tidak berfungsinya tugas dan peranan keluarga. Secara sosiologis ( Melly dalam Busono, 2005 ), keluarga dituntut berperan dan berfungsi untuk mencapai suatu masyarakat sejahtera yang dihuni oleh individu (anggota keluarga) yang bahagia dan sejahtera. Fungsi keluarga perlu diamati sebagai tugas yang harus diperankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa, berdasarkan pendekatan budaya dan sosiologis, fungsi keluarga adalah sebagai berikut :

a. Fungsi Biologis .

Bagi pasangan suami istri, fungsi ini untuk memenuhi kebutuhan seksual dan mendapatkan keturunan. Fungsi ini memberi kesempatan hidup bagi setiap anggotanya. Keluarga disini menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu.

   b.   Fungsi Pendidikan.

Fungsi pendidikan mengharuskan setiap orang tua untuk mengkondisikan kehidupan keluarga menjadi situasi pendidikan, sehingga terdapat proses saling belajar di antara anggota keluarga. Dalam situasi ini orang tua menjadi pemegang peran utama dalam proses pembelajaran anakanaknya, terutama di kala mereka belum dewasa. Kegiatannya antara lain melalui asuhan, bimbingan, dan teladan.  

c.   Fungsi Beragama.

Fungsi beragama berkaitan dengan kewajiban orang tua untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan dan melibatkan anak serta anggota keluarga lainnya mengenai kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan. Fungsi ini mengharuskan orang tua, sebagai seorang tokoh inti dan panutan dalam keluarga, untuk menciptakan iklim keagamaan dalam kehidupan keluarganya.  

d.   Fungsi Perlindungan

Fungsi perlindungan dalam keluarga ialah untuk menjaga dan memelihara anak dan anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul. Baik dari dalam maupun dari luar kehidupan keluarga.    

e.   Fungsi Sosialisasi Anak 

Fungsi sosialisasi berkaitan dengan mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang baik. Dalam melaksanakan fungsi ini, keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga kehidupan di sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada gilirannya anak berpikir dan berbuat positif di dalam keluarga dan terhadap lingkungannya.   

 f.  Fungsi Kasih Sayang

Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status dan peranan sosial masing masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama dalam menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.   

g.  Fungsi Ekonomis

Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis. Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran biaya keluarga.    

h. Fungsi Rekreatif

 Suasana Rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan bebas dari kesibukan sehari-hari.        

i.  Fungsi status keluarga

Fungsi ini dapat dicapai apabila keluarga telah menjalankan fungsinya yang lain. Fungsi keluarga ini menunjuk pada kadar kedudukan (status) keluarga dibandingkan dengan keluarga lainnya.

Minggu, 08 November 2020

SISTEM KEMASYARAKATAN DESA ADAT KASEPUHAN SIRNARESMI KABUPATEN SUKABUMI JAWABARAT

 

SISTEM KEMASYARAKATAN DESA ADAT KASEPUHAN SIRNARESMI KABUPATEN SUKABUMI JAWABARAT



Sistem Kemasyarakatan adalah  sistem yang terbentuk dari interaksi sosial antar individu berasal dari tindakan atau norma norma yang dianut masyarakat setempat. Hal-Hal yang Termasuk dalam Sistem Kemasyarakatan adalah SISTEM KEKERABATAN, PERKUMPULAN SOSIAL, SISTEM KENEGARAAN,ASOSIASI dan SISTEM KESATUAN HIDUP.

1.       Sistem kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

       Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Ikatan diantara orang yang bukan kerabat melahirkan banyak macam bentuk pengelompokan mulai dari “persaudaraan sedarah” sampai persahabatan semacam “perkumpulan”. Umur dan ikatan yang terbentuk karena keinginan sendiri termasuk kedalam kategori bukan kerabat.
2.    Asosiasi atau Perkumpulan

 Perkumpulan atau asosiasi merupakan suatu kelompok (group) yang di bentuk secara sadar untuk tujuan-tujuan khusus. Perkumpulan dapat terbagi menjadi paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft). Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama yang anggota-anggotanya terikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bertahan lama. Dasar hubungannya adalah rasa cinta dan rasa kesatuan. Bentuk paguyuban dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok kekerabatan, dan rukun tetangga. Bentuk dari perkumpulan ini misalnya perkumpulan keluarga orang-orang Papua yang ada di Jakarta atau Makassar.

3.      Sistem kenegaraan

Di dalam ilmu administrasi negara, dikenal suatu konsep yaitu sistem administrasi negara. Setiap negara pasti mempunyai sistemadministrasi negara masing – masing. sistem ini tidaklah berdiri sendiri, tapidipengaruhi oleh lingkungan sekitar,termasuk dari ilmu antropologi. Dengan kata lain, antropologi mempengaruhi sistem administrasi negara di sebuah negara.  Ilmu antropologi itu sendiri mempelajari budaya yang ada di dalam suatu
masyarakat. Dengan demikian, budaya di dalam masyarakat tersebut akan mempengaruhi
sistem administrasi negara.

Contoh : Masyarakat negara maju, di mana lebih mengutamakan budaya profesionalisme. Budaya profesional ini akan turut mempengaruhi sistem administrasi negara sehingga para aparat di dalamnya menganut budaya profesional.Di sisi lain, di masyarkat negara berkembang yang cenderung lebih mengutamakan budaya kekeluargaan, budaya kekeluargaan juga akan mempengaruhi sistem administrasi negara.

4.    Sistem Kesatuan Hidup

Kesatuan hidup setempat atau community berbeda dengan kelompok kekerabatan, maka kesatuan sosial yang disebut kesatuan hidup setempat itu merupakan kesatuan-kesatuan yang tidak pertama-tama ada karena ikatan kekerabatan tetapi karena ikatan tempat kehidupan.

5        . Perkumpulan sosial dan komunitas.

Perkumpulan social adalah suatu kelompok yang sengaja dibentuk oleh masyarakat sebagai tempat melaksanakan aktivitas dan mencapai tujuan bersama. Perkumpulan social disebut juga sebagai kelompok asosiasi atau organisasi formal / resmi yang keberadaannya diakui oleh masyarakat. Contoh : PSSI

Salah satu wujud sistem kemasyarakatan adalah gotong royong, yang tergerus eksistensinya dengan modernitas dan lainya. Namun ada beberapa masyarakat adat yang konsistes dengan nilai leluhur mereka sehingga identik dengan ke gotongroyongan dan sistem kemasyarakatan yang hangat, yaitu desa dan masyarakat adat.

 UUD Tahun 1945 berdasarkan Pasal 18B ayat (2) Desa adalah institusi dan entitas masyarakat hukum tertua yang bersifat asli. Keaslian desa terletak pada kewenangan otonomi dan tata pemerintahannya, yang diatur dan dikelola berdasarkan atas hak asal-usul dan adat istiadat setempat

Sedangkan masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bersifat otonom, mendiami sebuah kawasan teritorial di mana mereka mengatur sistem kehidupannya, berkembang dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri.

Salah satu desa adat yang akan dibahas adalah ”DESA ADAT KASEPUHAN SIRNARESMI KABUPATEN SUKABUMI JAWABARAT”

Kasepuhan Sinar Resmi berlokasi di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, namun banyak Incu Putu Kasepuhan Sinar Resmi yang berdomisili diluar Desa Sirna Resmi bahkan tersebar di tiga wilayah kabupaten (Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Lebak). Dipimpin oleh seorang pemangku adat atau pupuhu kasepuhan bernama Abah Asep Nugraha. Abah Asep dan masyarakat adatnya yang dikenal dengan sebutan: Incu Putu. Warga Adat Banten Kidul ini tidak sepenuhnya berpegang pada “buyut” dan tali paranti Kanekes, akan tetapi secara umum, kehidupan mereka sehari-hari banyak diwarnai oleh adat kebiasaan orang Kanekes, terutama pada kearifan dalam menyikapi alam dan lingkungan. Kasepuhan Sinar Resmi hingga saat ini masih memiliki dan memelihara kelestarian benih padi sekitar 68 jenis varietas padi lokal yang terdiri atas padi huma dan padi sawah.

Dikutip dari hasil riset dalam Jurnal Sodality (2008) berjudul “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik, dan Dinamika Sosio-Ekologis” karya Rita Rahmwati dan kawan-kawan, dari cerita turun-temurun, diketahui bahwa masyarakat kasepuhan adalah sisa-sisa Kerajaan Pakuan Pajajaran. Sebenarnya, Pakuan Pajajaran adalah nama pusat pemerintahan Kerajaan Sunda Galuh, salah satu kerajaan di tanah Pasundan. Namun, keberadaan masyarakat adatnya ternyata jauh lebih tua dari kerajaan yang berdiri sejak 1030 hingga 1579 Masehi itu.

Konon, masyarakat adat yang nantinya menurunkan warga Kasepuhan Banten Kidul ini bermula pada 611 Masehi. Kala itu, terdapat komunitas adat yang berpusat di Sajira atau yang kini merupakan salah satu wilayah di Lebak, Banten. Masyarakat adat ini dipimpin oleh pemangku adat berdasarkan keturunan. Beberapa kali, pemangku adat memimpin warganya berpindah tempat. Mereka bergerak dan terus melanjutkan kehidupan setelah Kerajaan Sunda Galuh runtuh, masuknya ajaran Islam, masa kolonial, bahkan hingga saat ini. Pemimpin adat mempunyai kekuasaan mutlak terhadap kehidupan masyarakat atau pengikutnya, terutama dalam tata cara kehidupan serta mata pencaharian yang bertumpu pada pertanian padi. Adapun masyarakat adatnya dikenal dengan istilah incu putu. Menurut Kusnaka Adimihardja dalam buku Manusia Sunda dan Lingkungannya (1989), masyarakat adat kasepuhan tidak punya hasrat untuk memiliki tanah yang mereka diami. Mereka hanya mengolah dan memanfaatkan lahan yang ada, kemudian berpindah mencari tempat baru jika dirasa perlu. Perjalanan sejarah telah membuktikan itu. Di masa lalu, komunitas adat ini kerap berpindah-pindah tempat hunian kendati masih di kawasan sekitar Gunung Halimun, antara Provinsi Jawa Barat dan Banten sekarang.

Ketika lahan pertanian mereka dijadikan Taman Nasional Gunung Halimun oleh pemerintah Orde Baru sejak 1992, warga kasepuhan tidak melawan atau berusaha mempertahankan lahan yang mereka tempati. Mereka berbesar hati menerima keputusan itu asalkan masih diberi akses untuk melanjutkan kehidupan. Hingga kini, masyarakat adat Sunda yang tergabung dalam Kesatuan Banten Timur masih bertahan di tengah terpaan modernitas yang kian kencang. Mereka tetap menjalani kehidupan seperti dulu, bersatu dan berusaha membaur dengan alam tanpa hasrat manusiawi yang berlebihan.


Sabtu, 07 November 2020

ANALISIS UU NO 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

 A. Analisis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

Banyaknya permasalahan sosial sekarang ini menunjukkan bahwa banyak warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum mendapatkan pelayanan sosial dari negara. Undang-undang ini menjamin tentang hal tersebut. Materi pokok dalam undang-undang ini antara lain tentang pemenuhan hak atas kebutuhan dasar, penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara komprehensif dan profesional serta perlindungan masyarakat.

Produk hukum ini juga mengatur mengenai pendaftaran dan perizinan serta sanksi administratif bagi lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Tujuan besar dari undang-undang ini adalah untuk memberikan keadilan sosial bagi warga negara untuk hidup secara layak dan bermartabat. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sendiri harus dilakukan berdasarkan asas kesetiakawanan, keadilan, kemanfaatan, keterpaduan, kemitraan, keterbukaan, akuntabilitas, partisipasi, profesionalitas, dan keberlanjutan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial mengemukakan bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Pada sisi lain, ayat 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa pemberdayaan sosial ditujukan kepada seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Kondisi tersebut berimplikasi perlunya sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dalam meningkatkan keberdayaan dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat penyandang masalah. Dalam hal ini, UU Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial serta relawan sosial merupakan sumber daya manusia yang berkompeten dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial. UU Nomor 11 tahun 2009 mengemukakan bahwa pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman Praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

Pasal 25 (bagian f dan g) UU Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menyelenggaran kesejahteraan sosial yang meliputi meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang kesejahteraan sosial dan menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial.

Kondisi tersebut di atas mempunyai konsekuensi tentang perlunya Negara melalui Pemerintah mengatur dan menetapkan standar pelayanan kesejahteraan sosial atau Praktik pekerjaan sosial yang dilakukan pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial dan relawan sosial dalam bentuk Undang-Undang Praktik pekerjaan Sosial sehingga pelayanan yang diberikan sesuai standar pelayanan dan mereka tidak melakukan Praktik pekerjaan sosial yang salah (malPraktik). Hal ini sesuai dengan pasal 25 bagian g dan pasal 26 bagian b UU Nomor 11 Tahun 2009 bahwa Pemerintah bertanggung jawab dalam menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial atau Praktik pekerjaan sosial serta Pemerintah berwenang dalam menetapkan standar pelayanan minimum, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial atau Praktik pekerjaan sosial.

Berikut ini akan diuraikan keterkaitan peraturan perundang-undangan tentang Praktik pekerjaan sosial sebagai bagian daripada tindak lanjut dari berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai sumber hukum tertulis di Indonesia untuk mencapai kesejahteraan sosial warga negara Indonesia.

B. Keterkaitan Praktik Pekerjaan Sosial dengan Undang-Undang Dasar 1945

Kedudukan undang-undang sebagai salah satu sumber hukum tertulis sangat penting mengingat Indonesia adalah Negara hukum sehingga setiap orang harus patuh dan tunduk terhadap hukum. Dilihat dari materi muatannya, suatu undang-undang berisi aturan lebih lanjut dari ketentuan dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.

Ayat 1 pasal 34 Amandemen UUD 1945 mengemukakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sosial, Negara memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Kondisi tersebut mempunyai konsekuensi terhadap penyediaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang dapat menangani dan meningkatkan keberdayaan masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Kondisi tersebut juga mempunyai implikasi terhadap perlunya peraturan dalam bentuk undang-undang yang mengatur standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial atau Praktik pekerjaan sosial. Undang-undang Praktik pekerjaan sosial tersebut sangat diperlukan sebagai dasar hokum dalam melakukan aktivitas Praktik pekerjaan sosial di Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam pasal 34 ayat 1 Amandemen UUD 1945. Hal ini sesuai dengan ayat 4 pasal 34 amandemen UUD 1945 yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut dalam pelaksanaan pasal 34 UU 1945  diatur melalui undang-undang.

Pekerjaan sosial adalah aktivitas pertolongan  profesional bagi individu, kelompok dan masyarakat  dalam rangka meningkatkan dan  memperbaiki kapasitas keberfungsian sosial  mereka dan menciptakan  kondisi sosial  yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai aktivitas profesional, pekerjaan sosial ditujukan untuk membantu individu, kelompok dan komunitas untuk meningkatkan atau memperbaiki kapasitinya untuk berfungsi sosial dan menciptakan kondisi masyarakat guna mencapai tujuan-tujuannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan sosial adalah  suatu aktivitas profesional yang ditujukan untuk membantu individu-idividu, kelompok atau masyarkat guna meningkatkan dan memperbaiki keberfungsian sosial dan kemampuan mereka dan menciptakan suatu kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka dalam mencapai tujuan. Dalam Praktiknya, pekerjaan sosial membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk mendapatkan hak hidupnya sehingga dapat berfungsi sosial dan dapat bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat dan negara.

Pada sisi lain tidak setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik. Masih banyak warga negara yang tidak mempunyai tempat tinggal yang layak. Dalam hal ini, sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya, pekerja sosial melaksanakan Praktik pekerjaan sosial untuk membantu setiap warga negara yang tidak mempunyai kemampuan menjangkau kebutuhannya. Adapun tujuan Praktik pekerjaan sosial tersebut adalah membantu warga negara yang mengalami masalah agar dapat mengembangkan diri dan kemampuannya melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya sehingga hidupnya menjadi berkualitas demik kesejahteraan umat manusia. Hal ini sesuai dengan ayat 1 pasal 28C amandemen UUD 1945 yang mengungkapkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

C. Keterkaitan Praktik Pekerjaan Sosial dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kebutuhan dasar warga negara yang miskin dan tidak mampu.  Berkait dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial mengemukakan bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial secara terencana, terarah, dan berkelanjutan.

Pada sisi lain, ayat 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa pemberdayaan sosial ditujukan kepada seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Kondisi tersebut berimplikasi perlunya sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi dalam meningkatkan keberdayaan dan membantu memecahkan masalah yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat penyandang masalah. Dalam hal ini, UU Nomor 11 Tahun 2009 mengemukakan bahwa pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial serta relawan sosial merupakan sumber daya manusia yang berkompeten dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial. UU Nomor 11 tahun 2009 mengemukakan bahwa pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman Praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

(Informasi diperoleh dari Web Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia, 2015)

 

 

PERAN PEKERJA SOSISAL PADA MASA PANDEMI COVID 19 DI VANUATU.

 

PERAN PEKERJA SOSISAL PADA MASA PANDEMI COVID 19 DI VANUATU.


 

A.Bagian 1: Tantangan Vanuatu

COVID-19 bukan hanya faktor yang memperumit, atau ancaman terpisah yang harus dihadapi. Artinya kita hadapi bencana gabungan yang unik dalam cara yang masih terurai, tanpa lintasan yang jelas atau berakhir melihat.

Sifat COVID-19 mengintensifkan skala dan memperluas cakupan dampak manusia, sosial, ekonomi dan lingkungan. Penguncian cepat perbatasan internasionalmenyediakan jendela berharga untuk bersiap di sisi kesehatan, tetapi pembatasan melumpuhkan ekonomi dan menghambat respons kemanusiaan. Tekanan yang bersaing juga ada dari mengelola acara lain, termasuk hujan abu gunung berapi Tanna dan hujan asam, banjir Teouma, kekeringan dan Ambae yang sedang berlangsungpemulihan gunung berapi. Yang selalu membayangi adalah prospek bencana di masa depan.

Besarnya peristiwa dan tantangan di depan berpotensi mengubah sosial secara signifikan kontrak antara orang dan pemerintah. Di seluruh dunia kami telah melihat dampak dari pandemi memperdalam perpecahan komunitas. Ketegangan geopolitik meningkat, mengubah perdagangan hubungan dan mengancam perdamaian. Beberapa negara dengan hati-hati membuka kembali karena takut akan sedetik gelombang infeksi. Yang lain tampaknya berhati-hati. Di tempat lain pandemi menjadi yang pertama gelombang belum pecah, dan banyak tempat yang paling tidak mampu diatasi belum sepenuhnya diuji.

Lebih dari yang lain, bencana gabungan ini telah mengaburkan garis antara respon, pemulihan dan pengurangan risiko bencana (kesiapsiagaan dan pencegahan). Bahaya langsung dari TC Harold berakhir, namun tekanan sosial dan trauma tetap ada, dan dalam beberapa kasus meningkat. Bersamaan gangguan lintas sektor memperburuk risiko sosial yang ada dan yang muncul. Selain itu, kami dihadapkan pada sejumlah skenario potensial terkait dengan COVID-19. Ini mungkin secara substansial dan dengan cepat mengalihkan fokus dan arah sumber daya saat situasi yang berbeda terungkap. Faktor kritisnya adalah apakah virus corona penyebab COVID-19 masuk ke masyarakat atau tidak. Sebaliknya, risiko, mitigasi, termasuk menutup perbatasan, telah berdampak merugikan pada ekonomi, masyarakat dan komunitas. Jika virus corona masuk ke Vanuatu, fokus kesehatannya akan perlu segera beralih dari pencegahan dan kesiapsiagaan ke pengobatan dan penahanan. Sebuah Penguncian internal akan sangat memengaruhi partisipasi sektor swasta dan domestik dalam pemulihan proses, menambah tekanan lebih lanjut pada ekonomi dan memperdalam dampak pada penanganan masyarakat mekanisme.

Di tengah keprihatinan dan ketidakpastian, pengalaman meyakinkan kita bahwa bekerja sama kita bisa dan akan memulihkan, membangun kembali, dan muncul lebih kuat dan lebih tangguh.

Pada saat penulisan ini masih belum ada kasus COVID-19 yang dikonfirmasi atau diduga di Vanuatu. Namun, biaya sosial ekonomi telah memakan banyak korban, termasuk kekhawatiran yang meningkat seputar perlindungan anak, eksploitasi, kekerasan berbasis gender, tekanan psikososial dan substansi penyalahgunaan. Latihan repatriasi yang dimulai pada akhir Mei telah melibatkan hampir 1.500 warga negara dan penduduk kembali ke rumah. Menyatukan kembali keluarga dan meringankan beban keuangan dan tekanan Orang-orang yang terdampar di luar negeri bukan tanpa risiko, tetapi merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Repatriasi lebih lanjut dan meningkatnya tekanan untuk melonggarkan pembatasan perjalanan global akan terus meningkatkan kemungkinan bahwa Coronavirus akhirnya dapat memasuki negara itu. Petugas kesehatan sibuk memperbaiki fasilitas, layanan dan pengawasan sebaik mungkin dalam persiapan untuk kemungkinan seperti itu. Meski begitu, seorang wabah mungkin akan membanjiri tidak hanya sistem kesehatan, tetapi semua pemerintahan.

Sementara itu, pembatasan perbatasan akan terus memisahkan keluarga, mengganggu pendidikan luar negeri dan peluang kerja serta menghalangi ketersediaan dan pergerakan pasokan dan perdagangan. Guncangan ekonomi yang diakibatkan berpotensi menyebabkan lebih banyak orang kehilangan pekerjaan, terutama di sektor informal, dengan perempuan dan penyandang disabilitas paling berisiko untuk dimarjinalkan.

Dengan penutupan cepat perbatasan internasional pada bulan Maret, COVID-19 berubah dari ancaman kesehatan menjadi darurat ekonomi. Banyak bisnis, terutama yang bergantung pada pariwisata secara efektif mengarah ke A berhenti. Tidak ada turis dan komunitas penduduk yang berkurang segera berdampak pada keramahan dan sektor konstruksi, menempatkan setidaknya 2.000 pekerjaan formal dalam bahaya dan mempengaruhi mata pencaharian puluhan ribu orang di sektor informal. Selain itu, hampir 1.400 pengemudi bus dan 140 orang pengemudi taksi di Port Vila menghadapi penurunan permintaan yang tajam. 1.000 lebih pengrajin kerajinan tangan berlisensi melihat pendapatan anjlok mendekati nol. Tindakan pencegahan jarak sosial sangat mengganggu buah dan penjualan pasar sayur.

B. Bagian 2: Pemulihan Vanuatu

Mendukung komunitas

Tujuan dari Strategi Pemulihan Vanuatu adalah untuk mendukung komunitas yang terkena dampak COVID-19, dengan menyediakan kerangka kerja untuk memulihkan, membangun kembali, dan muncul lebih kuat dan lebih tangguh. Itu didasarkan pada kerja sama, memperbarui tradisi dan nilai-nilai kita melalui kepedulian kita terhadap satu lain.

Bencana gabungan sejauh ini telah menyebabkan penderitaan yang cukup besar. Itu juga telah menunda perkembangan kemajuan yang direncanakan di bawah Vanuatu 2030 | Rencana Rakyat - Pembangunan Berkelanjutan Nasional Rencana (NSDP). Fokus langsungnya sekarang adalah memulihkan layanan dan infrastruktur penting, belajar darinya pengalaman kita bersama, beradaptasi dengan keadaan baru dan menciptakan peluang baru. Strategi ini menanggapi dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari bencana gabungan untuk menetapkan prioritas inti untuk tiga tahun ke depan. Ini memberikan jembatan ke NSDP, terus memajukan kita aspirasi pembangunan nasional dan tidak kembali kembali seperti semula.

Pemerintah terutama bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan pemulihan, tetapi tidak dapat bertindak sendiri untuk memperbaiki merusak dan menempatkan kita di jalur yang berkelanjutan untuk masa depan. Ini akan bekerja sama dengan provinsi dan lokal otoritas, komunitas, kepala, gereja, sektor swasta, masyarakat sipil dan mitra pembangunan memfasilitasi program yang dipimpin secara lokal dan berfokus pada orang.

Prinsip-prinsip panduan

Pemulihan yang berhasil akan berkontribusi pada komunitas yang lebih tangguh, memberikan kesempatan untuk meningkatkan lingkungan alam dan lingkungan binaan serta kesejahteraan ekonomi dan sosial. Masyarakat pemulihan terfokus menyadari bahwa bencana sangat berdampak pada kehidupan masyarakat dan mata pencaharian mereka, yang mana Artinya, proses pemulihan itu menantang dan kompleks. Mereka melibatkan elemen pencegahan, kesiapan, pembangunan kembali dan peningkatan. Komponen kunci adalah membangun kapasitas dan memungkinkan penggunaan pengetahuan dan kekuatan tradisional. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip berikut menyediakan panduan untuk memastikan proyek pemulihan memenuhi tujuan kami mendukung komunitas kami untuk memulihkan, membangun kembali dan muncul lebih kuat.

• Kami akan memastikan proyek pemulihan kami responsif terhadap sifat kompleks dan dinamis bencana majemuk dan perubahan kebutuhan komunitas tempat kami bekerja.

• Kami akan responsif dan fleksibel dalam melibatkan komunitas kami dan menggunakan yang dipimpin oleh komunitas pendekatan untuk mendukung mereka dalam bergerak maju. • Kami akan mempromosikan keterlibatan aktif dan perlindungan orang dan kelompok rentan kami dengan gender, keadilan dan perlindungan sosial merupakan isu lintas sektoral yang harus ditangani.

INTERNATIONAL LABOUR ORGANITATION AT VANUATU

 

EXTENSION OF SOCIAL PROTECTION IN VANUATU

Vanuatu Policy Paper I SPF Workshop in Vanuatu I  

Under the project “Supporting the definition and extension of social protection floors (SPF) in Vanuatu and Solomon Islands” the ILO uses the Assessment Based National Dialogue (ABND) approach to assist Vanuatu kickstart the process of developing nationally defined social protection floors.

The broad strategy to extend the social protection floor in the Pacific Island Countries can be considered to comprise of three phases, as shown schematically below:




Phase 1 includes activities such as (i) consultation meetings with the government, workers and employers as well as civil society organisations to discuss social protection issues relevant to their respective organisations and (ii) workshops and seminars on the Social Protection Floor at national or local level

Phase 2 covers (i) assessment of the country’s existing social protection system including a stocktake of existing schemes, and identification of policy gaps and implementation issues within the national social protection system; (ii) formulation of specific policy options to extend social protection, accompanied by cost and benefit analysis for each option; and (iii) development of a policy paper or report providing detailed account of social protection realities in the countries and policy recommendations. The activities apply a participatory approach where relevant stakeholders are involved and consulted in every step.

Phase 3 builds on the national decisions that were made at the end of Phase 2, about which social protection schemes can be expanded and/or established. Activities typically include (i) feasibility studies of the proposed schemes; (ii) technical capacity building for the implementation proposed schemes; and (iii) drafting of new legislation and/or amendment of existing legislation as required for the successful implementation of the proposed schemes.

Progress made by the project

In Vanuatu, the project covered phase 1 and phase 2. The second phase of the project has initiated a national dialogue where the government, workers, employers, and civil society organisations are engaged in the analysis of the current social protection system, express their respective positions in the social protection issues at hand and agree on the necessary steps for reform. This stage implements a modified Assessment Based National Dialogue (ABND) exercise, focusing on dialogues to increase awareness of the Social Protection Floor, analysing major gaps in the system and agreeing on key priority areas (more detailed assessments such as on costing may be done in the future if needed). Summary of the analysis and recommendations are presented on the Vanuatu Assessment Matrix.

Policy Paper for Income Security for Working Age

The extension of the social security schemes for workers has been identified as the first step towards developing a social protection floor. The project promptly formed a working group consisting of the Department of Labour (DoL), Vanuatu National Workers Union (VNVU), Vanuatu Chamber of Commerce and Industry (VCCI) Vanuatu National Provident Fund (VNPF) and the Department of Planning to develop a detailed policy paper on income security for workers. The policy paper will provides the government with policy options and concrete action plans for the agreed priority areas. 

National Social Protection Floor Workshop

The project activities culminated in a National Social Protection Workshop, conducted in Port Vila on February 17th, 2015. The workshops convened representations from government, workers, employers and civil society organisations with the purpose of (i) raising awareness of the Social Protection Floor; (ii) validating the key recommendations on the extension of social protection as summarised in the social protection floor matrix; and (iii) validating policy paper on income security for workers.

Vanuatu are in the early stages of developing formal social protection system. Continuous support from the ILO is essential to ensure that the country acquire the necessary technical capacity to follow up on this important work.

Note on natural disaster and other challenges

Vanuatu is prone to high covariate risks, particularly related to natural disaster. It is located on the pacific ring of fire, which makes it vulnerable to earthquakes, volcanoes (nine active) and tsunamis, and at the same time positioned in one of the most active cyclonic areas in the Pacific. In March 2015, Vanuatu was hit by Pam, a cyclone of category 5, which left the country in devastation. The project activities have to be put on hold as the country's focus was on relief and reconstruction. Development of social protection policies is hoped to be resumed after reconstruction phase. 

PERLUASAN PERLINDUNGAN SOSIAL DI VANUATU

I Vanuatu Policy Paper I Lokakarya SPF di Vanuatu I

Di bawah proyek “Mendukung definisi dan perluasan landasan perlindungan sosial (SPF) di Vanuatu dan Kepulauan Solomon”, ILO menggunakan pendekatan Dialog Nasional Berbasis Penilaian (ABND) untuk membantu Vanuatu memulai proses pengembangan landasan perlindungan sosial yang ditetapkan secara nasional.

Strategi luas untuk memperluas landasan perlindungan sosial di Negara-negara Kepulauan Pasifik dapat dianggap terdiri dari tiga tahap, seperti yang ditunjukkan secara skematis di bawah ini:

 

 

Fase 1 mencakup kegiatan seperti (i) pertemuan konsultasi dengan pemerintah, pekerja dan pengusaha serta organisasi masyarakat sipil untuk membahas masalah perlindungan sosial yang relevan dengan organisasi mereka masing-masing dan (ii) lokakarya dan seminar di Lantai Perlindungan Sosial di tingkat nasional atau lokal. tingkat

Tahap 2 mencakup (i) penilaian sistem perlindungan sosial yang ada di negara tersebut termasuk inventarisasi skema yang ada, dan identifikasi kesenjangan kebijakan dan masalah implementasi dalam sistem perlindungan sosial nasional; (ii) perumusan opsi kebijakan khusus untuk memperluas perlindungan sosial, disertai dengan analisis biaya dan manfaat untuk setiap opsi; dan (iii) pengembangan makalah atau laporan kebijakan yang memberikan penjelasan rinci tentang realitas perlindungan sosial di negara-negara tersebut dan rekomendasi kebijakan. Kegiatan tersebut menerapkan pendekatan partisipatif di mana pemangku kepentingan terkait dilibatkan dan dikonsultasikan dalam setiap langkah.

Fase 3 didasarkan pada keputusan nasional yang dibuat pada akhir Fase 2, tentang skema perlindungan sosial mana yang dapat diperluas dan / atau ditetapkan. Kegiatan biasanya mencakup (i) studi kelayakan dari skema yang diusulkan; (ii) peningkatan kapasitas teknis untuk implementasi skema yang diusulkan; dan (iii) penyusunan undang-undang baru dan / atau amandemen undang-undang yang ada sebagaimana diperlukan untuk keberhasilan implementasi skema yang diusulkan.

Kemajuan yang dibuat oleh proyek

Di Vanuatu, proyek mencakup fase 1 dan fase 2. Fase kedua proyek telah memulai dialog nasional di mana pemerintah, pekerja, pengusaha, dan organisasi masyarakat sipil terlibat dalam analisis sistem perlindungan sosial saat ini, mengungkapkan masing-masing posisi dalam masalah perlindungan sosial yang sedang dihadapi dan menyetujui langkah-langkah yang diperlukan untuk reformasi. Tahap ini mengimplementasikan latihan Dialog Nasional Berbasis Penilaian yang dimodifikasi, dengan fokus pada dialog untuk meningkatkan kesadaran tentang Landasan Perlindungan Sosial, menganalisis kesenjangan utama dalam sistem dan menyepakati bidang-bidang prioritas utama (penilaian yang lebih rinci seperti biaya dapat dilakukan di masa depan jika diperlukan). Ringkasan analisis dan rekomendasi disajikan di Vanuatu Assessment Matrix.

Kertas Kebijakan untuk Keamanan Pendapatan untuk Usia Kerja

Perluasan skema jaminan sosial bagi pekerja telah diidentifikasi sebagai langkah pertama untuk mengembangkan landasan perlindungan sosial. Proyek ini segera membentuk kelompok kerja yang terdiri dari Departemen Tenaga Kerja (DoL), Vanuatu National Workers Union (VNVU), Kamar Dagang dan Industri Vanuatu (VCCI) Vanuatu National Provident Fund (VNPF) dan Departemen Perencanaan untuk mengembangkan rincian kertas kebijakan tentang jaminan pendapatan bagi pekerja. Kertas kebijakan akan memberikan pilihan kebijakan dan rencana aksi konkret kepada pemerintah untuk bidang prioritas yang telah disepakati.

Lokakarya Lantai Perlindungan Sosial Nasional

Kegiatan proyek ini berpuncak pada Lokakarya Perlindungan Sosial Nasional, yang dilaksanakan di Port Vila pada tanggal 17 Februari 2015. Lokakarya tersebut dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, pekerja, pengusaha dan organisasi masyarakat sipil dengan tujuan untuk (i) meningkatkan kesadaran tentang Lantai Perlindungan Sosial; (ii) memvalidasi rekomendasi kunci tentang perluasan perlindungan sosial seperti yang dirangkum dalam matriks dasar perlindungan sosial; dan (iii) memvalidasi kertas kebijakan tentang jaminan pendapatan bagi pekerja.

Vanuatu sedang dalam tahap awal mengembangkan sistem perlindungan sosial formal. Dukungan berkelanjutan dari ILO sangat penting untuk memastikan bahwa negara memperoleh kapasitas teknis yang diperlukan untuk menindaklanjuti pekerjaan penting ini.

Catatan tentang bencana alam dan tantangan lainnya

Vanuatu rentan terhadap risiko kovariat tinggi, terutama terkait bencana alam. Itu terletak di cincin api pasifik, yang membuatnya rentan terhadap gempa bumi, gunung berapi (sembilan aktif) dan tsunami, dan pada saat yang sama diposisikan di salah satu daerah siklon paling aktif di Pasifik. Pada Maret 2015, Vanuatu dilanda Pam, topan kategori 5, yang menyebabkan negara itu dalam kehancuran. Kegiatan proyek harus ditunda karena fokus negara adalah pada bantuan dan rekonstruksi. Pengembangan kebijakan perlindungan sosial diharapkan dapat dilanjutkan setelah tahap rekonstruksi.

KESENIAN KHAS GEOPARK CILETUH KABUPATEN SUKABUMI

 1. Kesenian Buncis   Kesenian Buncis merupakan salah satu kesenian yang hidup dalam masyarakat Sunda Pajampangan di beberapag. Kesenian Bun...